Saya ingat waktu di SMA dulu,
kami (murid) harus menjalani test IQ untuk penjurusan. Sekolah saya menetapkan
bahwa murid2 dengan IQ tinggi bisa masuk ke jurusan IPA/Science. Murid dengan
IQ sedang hanya bisa masuk jurusan Sosial dan yang paling rendah IQnya hanya
diijinkan untuk masuk ke jurusan Bahasa. Aturan di sekolah saya ternyata
berlawanan dengan aturan dari SMA swasta terkenal di Yogyakarta yang
mengarahkan anak-anak yang ber IQ paling tinggi justru ke jurusan Bahasa.
Sewaktu saya diskusi dengan Romo
Mangun Wijaya (Alm) tentang kurikulum sekolah, Beliau mengatakan bahwa
pendidikan di Indonesia masih mewarisi "budaya" kolonial Belanda.
Menurut beliau, seharusnya
anak-anak yang kecerdasannya tinggi seharusnya diarahkan untuk masuk jurusan
Sosial supaya di masa mendatang akan lahir ekonom, hakim, jaksa, pengacara,
polisi, diplomat, duta besar, politisi dan sebagainya yang
hebat-hebat. Tetapi rupanya hal itu tidak dikehendaki oleh penguasa (Belanda).
Belanda menginginkan anak-anak yang cerdas tidak memikirkan masalah-masalah sosial
politik. Mereka cukup diarahkan untuk menjadi tenaga ahli/scientist,
arsitektur, ahli komputer, ahli matematika, dokter, dan sebagainya yang asyik dengan
science di laboratorium (pokoknya yang nggak membahayakan posisi penguasa).
Saya nggak tahu persis yang benar Romo Mangun Wijaya atau pemerintah Belanda.
Hanya saja waktu itu saya yang kuliah ambil jurusan Kurikulum jadi patah
semangat karena kayaknya kurikulum di Indonesia ini hampir tidak ada hubungannya
dengan kehidupan yang akan dijalani orang setelah keluar dari sekolah.
Kita bisa lihat, Insinyur yang
menjadi politisi bahkan memimpin parlemen, kemudian dokter (umum) bisa menjadi
kepala Dinas P & K atau tenaga marketing, sarjana theologia yang jadi
pengusaha, dan sebagainya. Sampai saat ini,masih banyak orang tua dan masyarakat yang
beranggapan bahwa anak yang hebat adalah anak yang nilai matematika dan
science-nya menonjol. Paradigma berpikir orang tua/masyarakat ini sangat
mempengaruhi konsep anak tentang kesuksesan. Bulan Juni 2003 yang lalu, lembaga
tempat saya bekerja mengadakan seminar anak-anak.
Di depan 800-an anak, Kak Seto
Mulyadi (Si Komo) menunjukkan 5 Rudy.
- Yang Ke-1 : Rudy Habibie (BJ
Habibie) yang genius, pintar bikin pesawat dan bisa menjadi presiden.
- Yang Ke-2 : Rudy Hartono yang
pernah beberapa menjadi juara bulu tangkis kelas dunia.
- Yang Ke-3 : Rudy Salam yang
suka main sinetron di TV
- Yang Ke-4 : Rudy Hadisuwarno
yang ahli di bid. kecantikan dan punya banyak salon kecantikan di beberapa kota .
- Yang Ke-5 : Rudy Choirudin yang
jago masak dan sering tampil memandu acara memasak di TV.
Sewaktu Kak Seto bertanya
"Rudy yang mana yang paling sukses menurut kalian?" Hampir semua anak
menjawab "Rudy Habibie" Sewaktu ditanyakan "Mengapa, kalian
bilang bahwa yang paling sukses Rudy Habibie?"
Anak-anakpun menjawab
"Karena bisa membuat pesawat terbang, bisa menjadi presiden, dsb"
Sewaktu Kak Seto menanyakan "Rudy yang mana yang paling tidak
sukses?" Hampir seluruh anak menjawab "Rudy Choirudin" Ketika
ditanyakan "Mengapa kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan orang
yang sukses?"
Memang begitulah pola pikir dan
pola asuh dalam keluarga dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih
menilai kesuksesan orang dari karya-karya besar yang dihasilkannya. Masyarakat
kita banyak yang belum bisa melihat kesuksesan adalah pengembangan talenta
secara optimal sehingga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan yang dijalaninya
dengan "enjoy".
Banyak masyarakat kita yang
beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya. Padahal kenyataannya EQ, SQ dan
faktor-faktor lain juga sangat menentukan. Dalam seminar tsb Kak Seto hanya ingin
merubah paragidma berpikir anak-anak (dan juga orang tua/keluarga). Anak-anak
dan orang tua harus menyadari dan mensyukuri setiap talenta yang diberikan oleh
Tuhan.
Bila talenta tersebut
dikembangkan dengan baik, maka kita bisa mencapai kesuksesan di
"bidangnya". Jadi untuk anak-anak yang tidak pintar matematika, anak2
tidak perlu minder dan orang tua tidak perlu malu atau menekan anak. Anak-anak
yang lebih menyukai pelajaran menggambar dari pada pelajaran-pelajaran lain, bukanlah
anak-anak yang bodoh karena justru anak-anak yang punya imajinasi tinggilah yang
pintar menggambar/ melukis. Anak-anak yang suka ngobrol, kalau kita arahkan
bisa saja kelak menjadi politisi atau negotiator yang baik.
Anak-anak yang banyak bicara,
kalau diarahkan untuk menuliskan apa yang ingin dibicarakan bisa-bisa menjadi
penulis yang hebat. *** Mbak Dwi Setyani juga mengingatkan kita untuk lebih
memfokuskan pada kekuatan kita dari pada "wasting time"
bersungut-sungut, hanya memikirkan kelemahan kita.
Saya pernah membaca pengalaman
hidup seorang penyanyi di Amerika. Penyanyi tsb dulunya tidak PD karena
wajahnya tidak terlalu cantik dan giginya tonggos. Saat menyanyi di pub, dia
repot mengatur bibirnya supaya giginya yang tonggos tidak dilihat orang.
Hasilnya: ia hanya bisa menghasilkan suara yang pas-pasan. Ketika temannya
meyakinkan bahwa giginya yang tonggos itu bukanlah masalah, maka iapun bisa
menyanyi dengan bebas dan meng-eksplore suara emasnya. Ternyata orang-orang
mengingat penyanyi itu karena kualitas suaranya, bukan parasnya yang jelek
dengan gigi tonggosnya.
*** Kitapun meyakini bahwa Tuhan menciptakan
setiap kita (manusia) dengan maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya. Kalau saja
kita meyakini hal tersebut, maka semua orang akan mensyukuri keadaan dan
memanfaatkan talenta yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar