Kamis, 28 April 2016

Sedekah itu menambah, bukan mengurangi

Jogja. Tidak ada yang tak mengenal tempat itu. Jika kita mendengar kata "Jogja", maka yang terlintas pertama kali dalam pikiran kita adalah Malioboro, Keraton, makanan enak, orang-orang yang ramah, dan kerinduan. Bahkan ada yang berkata, "Jogja itu terbuat dari kenangan dan kerinduan"

Saya bukan asli orang Jogja, tapi saya keturunan asli orang Jogja. Pun demikian, saya tetap kagum dengan Jogja. Salah satu yang paling saya kagumi adalah orang-orangnya. Mereka sangat istimewa.

Malam itu saya dan beberapa orang teman sedang berada di Taman Parkir Bus Wisata Abu Bakar Ali, di sebelah timur Jalan Malioboro. Kami berniat untuk hunting foto dan video beberapa bus pariwisata yang sedang parkir di tempat itu. Karena lapar sudah melanda, maka saya memutuskan untuk membeli nasi goreng magelangan di salah satu langganan saya.

Saya tidak tahu siapa nama penjualnya. Beliau berjualan di sekitar Taman Parkir ABA. Biasanya beliau berjualan mulai jam 18.00. Kalau sudah larut malam, beliau pindah ke pintu perlintasan Stasiun Tugu di sebelah utara Jalan Malioboro. Kami menyebutnya "PJL Geser". Orang-orang Jogja menyebutnya "teteg stasiun tugu".

Beliau berjualan nasi dan bakmi jawa, dengan gerobak yang tidak terlalu besar. Rasa masakannya lumayan enak dan harganya terbilang murah. Seporsi nasi goreng magelangan plus telor dan kerupuk, hanya seharga Rp 10.000 saja. Mungkin karena dua hal tersebut (rasa yang enak dan harga yang murah), dagangan beliau selalu laris. Setiap kali saya beli nasi goreng, saya selalu antri lama. Minimal antri 3 atau 4 orang. Dan meskipun saat taman parkir sepi dari bis, pembeli nasi goreng beliau juga masih tetap banyak. Setiap kali saya melintas di tempat beliau jualan, selalu saja banyak orang yang mengantri. Saya berpikir, mungkin karena harganya yang murah dan rasanya yang enak, banyak yang membeli dagangan beliau. Kita semura tahu bahwa Jogja adalah gudangnya makanan enak dan murah. Tetapi malam itu saya melihat hal yang lain.

Saya dan seorang teman memutuskan untuk membeli nasi goreng magelangan. Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, makanan yang kami pesan datang dan kami pun segera melahapnya karena lapar. Belum sampai kami makan setengah makanan kami, ada seseorang yang menghampiri kami. Saya sempat melihatnya sebentar. Wajahnya tampak kusam dengan rambut yang acak-acakan. Pakaianya pun lusuh dan terlihat kotor. Tidak perlu saya jelaskan lebih banyak, kita pasti sudah bisa menduga siapa dan dari mana orang tersebut datang. 

Dia berdiri di samping saya. Hanya melihat kami berdua yang sedang makan. Saya, tidak berani melihatnya. Tidak berani bukan karena takut, tapi karena malu. Ada orang yang sedang lapar di sebelah saya, sedangkan saya hanya makan tanpa mempedulikannya. Bahkan melihatnya pun saya tidak. Hanya beberapa kali saya meliriknya, dan orang itu masih tetap melihat kami berdua. Saya makan perlahan. Lebih dari 5 menit orang itu berdiri di samping kami. Tangan dan kaki saya gemetar. Saya tidak tega. Batin saya berkecamuk. Ingin sekali saya memberi makanan yang sedang saya hadap saat itu, tapi entah kenapa saya tidak bergeming. Saya hanya diam. Bahkan saya berhenti memakan nasi goreng di atas piring yang sedang saya bawa. Batin memberontak. "Hai dhani, ada orang kelaparan di sebelahmu dan kau tetap memakan makananmu? Memalukan!!! Kau benar-benar memalukan!!!"

Saat saya sedang berperang dengan diri sendiri, tiba-tiba Bapak penjual nasi goreng datang menghampiri dan memberikan sebungkus makanan (entah nasi atau bakmi) kepada orang itu. Sebungkus makanan lengkap dengan sendoknya. Lalu orang itu bergegas pergi.

Apa yang saya lihat saat itu benar-benar meluluhlantakkan hati saya. Tanpa diminta, tanpa disuruh, tanpa ragu-ragu, tanpa perhitungan untung atau rugi, Bapak itu memberikan makanan yang sedang dijualnya kepada orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Kepada orang yang saya acuhkan saat saya makan padahal dia kelaparan. Kepada orang yang berwajah kusam berpakaian lusuh. Kepada makhluk Allah yang sedang membutuhkan makanan.

Setelah selesai makan, saya membayar dan segera beranjak dari tempat itu. Antrian yang memesan nasi dan bakmi semakin banyak. Dan Bapak penjual semakin sibuk dengan alat-alat masaknya.

Sambil berjalan saya berpikir, mungkin inilah faktor ketiga yang membuat jualan Bapak itu laris manis. Bapak itu bersedekah dengan ikhlas. Beliau tidak memikirkan untung atau rugi, tidak memikirkan siapa yang ia beri, dari mana asalnya, bagaimana pakaiannya, bagaimana rupanya. Beliau memberi kepada siapapun yang membutuhkan. Dan apa yang beliau berikan menjadi berkah dan menambah rejekinya. Sama sekali tidak mengurangi, bahkan menambah. Beliau bersyukur dengan cara berbagi. Dan barangsiapa mau bersyukur, maka Allah akan menambah rejekinya.

Satu pelajaran penting yang saya dapatkan malam itu. Saya berjalan pulang sambil terus menundukkan kepala. Malu kepada yang telah memberikan saya makanan malam itu. Malu karena saya diberi kelebihan tapi masih ragu untuk membaginya. 

Selalu teringat dalam kepala saya, "saat kau makan, ingatlah mereka yang kelaparan dan kalahkan nafsumu"

video beliau sedang membuat nasi goreng magelangan dan teman saya dari Purwokerto yang menikmatinya. video ini lama sebelum peristiwa di atas terjadi.


Jumat, 08 April 2016

Ibu, Aku tak mau jadi pahlawan

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.

Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing. Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orangpun bertepuk tangan.

Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya. Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab : "Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main".

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua. Diapun menjawab: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya menjadi seorang guru TK?

Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak lagi banyak bermain. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.

Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama. Semua orang membawa serta keluarga mereka. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya. Anak kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.

Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue. Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil. Terakhir anak kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.

Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing. Mereka terlihat begitu gembira.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu "Siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi, dan apa alasannya"

Semua teman sekelasnya menuliskan nama : ANAKKU!

Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman, dan banyak lagi.

Si wali kelas memberi pujian: “Anak ibu ini kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.

Saya bercanda pada anakku, “Suatu saat kamu akan jadi pahlawan”. Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba2 menjawab “Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”

"Ibu... aku tidak mau jadi pahlawan. Aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan."

Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku. Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan. Namun Anakku memilih untuk menjadi orang yang tidak terlihat. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi ialah yang mengokohkan.

Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hatinya, 
Mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang berhati baik dan jujur?