Senin, 14 November 2016

Katakan sebelum terlambat

Kehidupan pernikahan kami awalnya baik-baik saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.

Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja sampai subuh, baru pulang kerumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.

Dia menciumku maksimal dua kali sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tidak romantis, dan tidak memerlukan hal-hal seperti itu sebagai ungkapan sayang.

Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua di luarpun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.

Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran di kamar, atau main dengan anak kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.

Aku mengira rumah tangga kami baik-baik saja selama delapan tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, di suatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit di rumah sakit. Karena jarang makan dan sering jajan di kantornya dibanding makan di rumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama Meisha, teman Mario saat dulu kuliah.

Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan-akan waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat-kalimatnya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki-laki maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.

Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. Lima bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.

Aku mulai mengingat-ingat, 5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari tiga kali. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung di depan komputernya. Atau termenung memegang ponselnya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.

Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya, "Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini? tidak mau makan juga? Uhh... dasar anak nakal, sini piringnya," lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba-tiba saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan....aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun!

Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang ke rumah saat ulang tahun perkimpoian kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.

Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis. Dia bisa hadir tiba-tiba, membawakan donat buat anak-anak, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan-jalan, kadang mengajakku nonton. Kali lain, dia datang bersama suami dan kedua anaknya yang lucu-lucu.

Aku tidak pernah bertanya apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu. Karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak di hatinya.

Suatu sore, mendung begitu menyelimuti Jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan gerimis kemudian. Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papa nya, dan memanggilku, "Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha?"

Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,

Dear Meisha,

Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak-anakku.

Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik-konflik terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.

Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon-pohon beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan-hutan belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.

Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki-laki yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.

Yours,
Mario

Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia tujuh tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku. Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain. Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan di amplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya. Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa-sisa uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak-anakku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam-macam merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman-temanku sudah menikah semua.

Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya. Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku? Itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.

Mario terus menerus sakit-sakitan, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus di dalam hatinya. Dengan pura-pura tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
Setahun kemudian...

Meisha membuka amplop surat-surat itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.
"Mario, suamiku....

Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja di kantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa di atas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku. .. Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku.....

Ternyata aku keliru.... aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukaimu. Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, "Kenapa, Rima? Kenapa kamu mesti cemburu? Dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku." Aku tidak perduli, dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.

Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan."

Istrimu,
Rima

Di surat yang lain,

".........Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha...... "

Di surat yang ke sekian,

".......Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku. Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah-marah padamu, aku tidak lagi suka membanting-banting barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai.

Aku tidak lagi boros, dan selalu menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang ke rumah. Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur di samping tempat tidurmu, di rumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah.....

Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya.. ......"

Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya... dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu di sampingnya.

Di surat terakhir, pagi ini...

"........... ...Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang ke rumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya di rumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujan deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.

Saat aku tiba di rumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran di matamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.

Tahukah engkau suamiku, Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda-tanda cinta mulai bersemi di hatimu?"

Jelita menatap Meisha, dan bercerita, "Siang itu Mama menjemputku dengan motornya. Dari jauh aku melihat keceriaan di wajah Mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah-marah kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya di seberang jalan. Ketika Mama menyeberang jalan, tiba-tiba mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi...... Aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante..... Aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak.... .." Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.

Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya ingin Rima membacanya.

Dear Meisha,

Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah-marah dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba-tiba aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar.... Inikah tanda-tanda aku mulai mencintainya?

Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak-anakku, tapi karena dia belahan jiwaku....

Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk di samping nisan Rima. Di wajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario. 

Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.

Kamis, 26 Mei 2016

Hari ini

Aku akan memulainya dengan ucapan sukur dan senyuman bukan kritikan. Akan kuhargai setiap detik, menit, dan jam karena tak sedetikpun dapat ditarik kembali.

Hari ini tidak akan kusia-siakan, seperti waktu lalu yang percuma. Hari ini tak akan kuisi dengan kecemasan tentang apa yang akan terjadi besok.

Hari ini akan kupakai waktuku untuk membuat sesuatu yang kuidamkan terjadi. Hari ini aku belajar lagi, untuk merubah diri sendiri.

Hari ini akan kuisi dengan karya. Kutinggalkan angan-angan yang selalu mengatakan "Aku akan melakukan sesuatu jika keadaan berubah". Jika keadaan tetap sama saja, dengan kemurahanNya aku akan sukses dengan apa yang terjadi padaku

Hari ini akan berhenti berkata "aku tidak punya waktu" karena aku tahu, aku tidak akan pernah punya waktu untuk apapun. Jika aku ingin mempunyai waktu, aku harus meluangkannya

Hari ini akan kulalui seolah hari akhirku, akan kulakukan yang terbaik dan tidak akan ditunda sampai esok, karena esok belum tentu ada.

Hari ini akan kuisi dengan banyak energi positif. Aku akan mengeluarkan seluruh energi positif yang kupunya dan mempengaruhi orang-orang dan lingkungan sekitarku dengan energi positif. Hari ini aku tidak punya waktu untuk melayani energi negatif yang datang kepadaku.

Hari ini aku akan lebih banyak tersenyum. Aku tidak akan mempedulikan segala kesedihan yang ada di dalam hatiku. Aku akan tetap tersenyum dan melupakan kesusahan yang sedang menimpaku.

Hari ini aku akan tetap bersyukur atas segala yang sudah aku punya dan yang belum aku punyai. Aku akan tetap bersyukur atas segala yang sudah aku dapatkan di hari kemarin, yang akan aku dapatkan di hari ini, dan yang sedang menungguku di hari depan. Hari ini aku tidak punya waktu untuk mengeluh.

Hari ini akan menjadi lebih baik dari hari kemarin. Hari ini pasti menjadi lebih baik dari hari kemarin. Hari ini harus menjadi lebih baik dari hari kemarin.

Kamis, 28 April 2016

Sedekah itu menambah, bukan mengurangi

Jogja. Tidak ada yang tak mengenal tempat itu. Jika kita mendengar kata "Jogja", maka yang terlintas pertama kali dalam pikiran kita adalah Malioboro, Keraton, makanan enak, orang-orang yang ramah, dan kerinduan. Bahkan ada yang berkata, "Jogja itu terbuat dari kenangan dan kerinduan"

Saya bukan asli orang Jogja, tapi saya keturunan asli orang Jogja. Pun demikian, saya tetap kagum dengan Jogja. Salah satu yang paling saya kagumi adalah orang-orangnya. Mereka sangat istimewa.

Malam itu saya dan beberapa orang teman sedang berada di Taman Parkir Bus Wisata Abu Bakar Ali, di sebelah timur Jalan Malioboro. Kami berniat untuk hunting foto dan video beberapa bus pariwisata yang sedang parkir di tempat itu. Karena lapar sudah melanda, maka saya memutuskan untuk membeli nasi goreng magelangan di salah satu langganan saya.

Saya tidak tahu siapa nama penjualnya. Beliau berjualan di sekitar Taman Parkir ABA. Biasanya beliau berjualan mulai jam 18.00. Kalau sudah larut malam, beliau pindah ke pintu perlintasan Stasiun Tugu di sebelah utara Jalan Malioboro. Kami menyebutnya "PJL Geser". Orang-orang Jogja menyebutnya "teteg stasiun tugu".

Beliau berjualan nasi dan bakmi jawa, dengan gerobak yang tidak terlalu besar. Rasa masakannya lumayan enak dan harganya terbilang murah. Seporsi nasi goreng magelangan plus telor dan kerupuk, hanya seharga Rp 10.000 saja. Mungkin karena dua hal tersebut (rasa yang enak dan harga yang murah), dagangan beliau selalu laris. Setiap kali saya beli nasi goreng, saya selalu antri lama. Minimal antri 3 atau 4 orang. Dan meskipun saat taman parkir sepi dari bis, pembeli nasi goreng beliau juga masih tetap banyak. Setiap kali saya melintas di tempat beliau jualan, selalu saja banyak orang yang mengantri. Saya berpikir, mungkin karena harganya yang murah dan rasanya yang enak, banyak yang membeli dagangan beliau. Kita semura tahu bahwa Jogja adalah gudangnya makanan enak dan murah. Tetapi malam itu saya melihat hal yang lain.

Saya dan seorang teman memutuskan untuk membeli nasi goreng magelangan. Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, makanan yang kami pesan datang dan kami pun segera melahapnya karena lapar. Belum sampai kami makan setengah makanan kami, ada seseorang yang menghampiri kami. Saya sempat melihatnya sebentar. Wajahnya tampak kusam dengan rambut yang acak-acakan. Pakaianya pun lusuh dan terlihat kotor. Tidak perlu saya jelaskan lebih banyak, kita pasti sudah bisa menduga siapa dan dari mana orang tersebut datang. 

Dia berdiri di samping saya. Hanya melihat kami berdua yang sedang makan. Saya, tidak berani melihatnya. Tidak berani bukan karena takut, tapi karena malu. Ada orang yang sedang lapar di sebelah saya, sedangkan saya hanya makan tanpa mempedulikannya. Bahkan melihatnya pun saya tidak. Hanya beberapa kali saya meliriknya, dan orang itu masih tetap melihat kami berdua. Saya makan perlahan. Lebih dari 5 menit orang itu berdiri di samping kami. Tangan dan kaki saya gemetar. Saya tidak tega. Batin saya berkecamuk. Ingin sekali saya memberi makanan yang sedang saya hadap saat itu, tapi entah kenapa saya tidak bergeming. Saya hanya diam. Bahkan saya berhenti memakan nasi goreng di atas piring yang sedang saya bawa. Batin memberontak. "Hai dhani, ada orang kelaparan di sebelahmu dan kau tetap memakan makananmu? Memalukan!!! Kau benar-benar memalukan!!!"

Saat saya sedang berperang dengan diri sendiri, tiba-tiba Bapak penjual nasi goreng datang menghampiri dan memberikan sebungkus makanan (entah nasi atau bakmi) kepada orang itu. Sebungkus makanan lengkap dengan sendoknya. Lalu orang itu bergegas pergi.

Apa yang saya lihat saat itu benar-benar meluluhlantakkan hati saya. Tanpa diminta, tanpa disuruh, tanpa ragu-ragu, tanpa perhitungan untung atau rugi, Bapak itu memberikan makanan yang sedang dijualnya kepada orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Kepada orang yang saya acuhkan saat saya makan padahal dia kelaparan. Kepada orang yang berwajah kusam berpakaian lusuh. Kepada makhluk Allah yang sedang membutuhkan makanan.

Setelah selesai makan, saya membayar dan segera beranjak dari tempat itu. Antrian yang memesan nasi dan bakmi semakin banyak. Dan Bapak penjual semakin sibuk dengan alat-alat masaknya.

Sambil berjalan saya berpikir, mungkin inilah faktor ketiga yang membuat jualan Bapak itu laris manis. Bapak itu bersedekah dengan ikhlas. Beliau tidak memikirkan untung atau rugi, tidak memikirkan siapa yang ia beri, dari mana asalnya, bagaimana pakaiannya, bagaimana rupanya. Beliau memberi kepada siapapun yang membutuhkan. Dan apa yang beliau berikan menjadi berkah dan menambah rejekinya. Sama sekali tidak mengurangi, bahkan menambah. Beliau bersyukur dengan cara berbagi. Dan barangsiapa mau bersyukur, maka Allah akan menambah rejekinya.

Satu pelajaran penting yang saya dapatkan malam itu. Saya berjalan pulang sambil terus menundukkan kepala. Malu kepada yang telah memberikan saya makanan malam itu. Malu karena saya diberi kelebihan tapi masih ragu untuk membaginya. 

Selalu teringat dalam kepala saya, "saat kau makan, ingatlah mereka yang kelaparan dan kalahkan nafsumu"

video beliau sedang membuat nasi goreng magelangan dan teman saya dari Purwokerto yang menikmatinya. video ini lama sebelum peristiwa di atas terjadi.


Jumat, 08 April 2016

Ibu, Aku tak mau jadi pahlawan

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.

Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing. Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orangpun bertepuk tangan.

Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya. Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab : "Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main".

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua. Diapun menjawab: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya menjadi seorang guru TK?

Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak lagi banyak bermain. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.

Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama. Semua orang membawa serta keluarga mereka. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya. Anak kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.

Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue. Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil. Terakhir anak kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.

Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing. Mereka terlihat begitu gembira.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu "Siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi, dan apa alasannya"

Semua teman sekelasnya menuliskan nama : ANAKKU!

Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman, dan banyak lagi.

Si wali kelas memberi pujian: “Anak ibu ini kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.

Saya bercanda pada anakku, “Suatu saat kamu akan jadi pahlawan”. Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba2 menjawab “Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”

"Ibu... aku tidak mau jadi pahlawan. Aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan."

Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku. Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan. Namun Anakku memilih untuk menjadi orang yang tidak terlihat. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi ialah yang mengokohkan.

Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hatinya, 
Mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang berhati baik dan jujur?


Sabtu, 19 Maret 2016

Balasan Kebaikan

“Seorang anak muda yang sangat miskin bekerja sebagai wiraniaga untuk membiayai uang kuliahnya. Pada suatu hari, ia sangat bingung karena ia hanya punya uang sepuluh sen saja, padahal ia sangat kelaparan. Ia memberanikan dirinya untuk minta makan pada tetangganya, tapi ia gugup ketika seorang nyonya yang perlente membuka pintu. Ia tidak jadi minta makanan. Ia minta segelas air saja.

Perempuan itu merasa bahwa anak muda itu dalam kesusahan. Ia berikan kepadanya segelas susu. Ia minum perlahan-lahan. Ia bertanya, “Berapa?”

“Anda tidak perlu bayar apa pun” kata perempuan itu, “Ibuku mengajarkan untuk tidak menerima apa pun dari setiap perbuatan baik."

“Kalau begitu, terima kasih saya yang setulus-tulusnya,” katanya. Ketika anak muda itu meninggalkan rumah itu, ia merasa lebih bahagia dan keimanannya kepada Tuhan serta kepercayaannya kepada umat manusia menjadi lebih kuat.

Bertahun-tahun kemudian, nyonya yang baik itu jatuh sakit. Dokter-dokter tidak tahu persis apa penyakit yang dideritanya. Ia dikirim ke Rumah Sakit dan diserahkan kepada anak muda dulu yang kini sudah menjadi dokter. Ketika ia mendengar nama dan kota asal pasiennya, matanya bersinar dan mulai menduga-duga siapa dia. Ia mulai merawatnya dan segera mengenal sang nyonya. Ia bekerja keras untuk menyelamatkan nyawanya. Akhirnya, setelah perjuangan yang berat dari dokter muda tersebut, perempuan itu sembuh.

Dokter itu meminta administrasi rumah sakit untuk menyampaikan kepadanya tagihan untuk ia setujui. Ia memperbaiki tagihan itu dan menandatanganinya. Di atas tagihan biaya rumah sakit itu ia menuliskan catatan kecil. Ia krimkan kembali kepada pasiennya. Perempuan itu tahu ia harus membayar tagihan itu selama sisa usianya. Walaupun ia bahagia karena telah disembuhkan, ia juga kuatir tidak bisa membayarnya. Ia membuka amplop dan terkejut ketika membaca tulisan di atas surat tagihan itu: “Tagihan ini sudah dibayar bertahun-tahun yang lalu dengan segelas susu- dr Howard.”

Tangisan kebahagiaan membasahi mukanya. Ia bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada dokter muda itu akan balasan kebaikannya.”

Selasa, 15 Maret 2016

Cermin

Betapa senangnya kancil saat mendapati bayangan dirinya di sebuah genangan air nan jernih. Bayangan itu begitu utuh, persis seperti aslinya. Dan, kancil pun tersenyum sambil terus memandangi bayangan dirinya yang juga tersenyum.

"Ternyata, aku cakep!" ujarnya setelah memastikan kalau bayangan itu memang benar-benar diri kancil sendiri. Dan, kancil pun melompat-lompat kegirangan. Tiap kumpulan hewan yang ia lalui seolah tersenyum memandangi dirinya. Bisikan yang selalu ia yakini pun mengatakan, "Kancil cakep, Ya! Kancil cakep!"

Begitu seterusnya hingga hewan periang ini menemukan genangan air yang lain. Warna air itu agak kusam. Beberapa dahan pohon yang mulai membusuk dalam air seperti memberi warna hijau pekat. Dan bayang-bayang yang dipantulkan genangan itu pun akan menjadi kusam.

"Hei, kenapa wajahku seperti ini?" teriak kancil sesaat setelah memandangi bayangan wajahnya dari permukaan genangan air itu. Ia jadi kian penasaran. Terus ia pandangi genangan itu seolah mencari detil-detil kesalahan. Tapi, bayangan itu tak juga berubah. Ia terlihat kusam, kumuh. Bulu-bulu coklatnya yang bersih tak lagi tampak seperti apa adanya. "Ternyata aku salah! Aku tidak cakep!" keluh kancil sambil beranjak meninggalkan genangan air.

Berjalan agak lunglai, kancil membayangkan sesuatu yang tak nyaman. Sapaan manis hewan-hewan yang ia lalui, terasa agak lain. Tiap sapaan seperti sebuah hinaan: "Kancil jelek! Sok cakep!" Itulah kenapa kancil selalu menunduk ketika berpapasan dengan siapa pun yang ia jumpai. Mulai dari kuda, kerbau, rusa, zebra, dan kambing. Ia merasa begitu rendah dibanding yang lain. Keriangannya pun berganti kesedihan. Pelan tapi pasti, bayang-bayang itu pun menjadi sebuah pengakuan. "Aku memang sok cakep!"

***
Hidup dalam sebuah kebersamaan adalah sama dengan memandangi diri dalam seribu satu cermin sosial. Masing-masing cermin punya sudut pandang sendiri. Bayangan yang ditampilkannya pun sangat bergantung pada mutu cermin. Tentu akan beda antara bayangan cermin jernih dengan yang kusam. Terlebih jika cermin itu sudah retak.

Memahami keanekaragaman cermin ini akan membuat seseorang seperti berjalan pada bentangan tambang di sebuah ketinggian. Ia mesti merawat keseimbangan: antara percaya diri yang berlebihan dengan rendah diri yang kebablasan. Percaya diri yang berlebihan, membuat langkah menjadi tidak hati-hati. Dan rendah diri yang kebablasan, membuat langkah tak pernah memulai.

Andai keseimbangan percaya diri ini yang dipahami kancil, tentu ia tak terlalu bangga dengan bayangan yang terasa begitu membuai. Karena di cermin yang lain, bayangan dirinya menjadi buruk. Sangat buruk. Andai keseimbangan ini yang dipegang kancil, insya Allah, ia tak akan jatuh.

Selasa, 08 Maret 2016

Mandikan Aku, Bunda

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme  tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.                                                                                                                                                                
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht , Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.                                          
                                                                                          
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.                                                
                                                                      Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?''

Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!''

Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.                                                           
                                                                                         
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. 

''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.                                                       
                                                                                         
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski  kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut  kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.                                          
                                                                                         
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. 

''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. 

Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.                                                                     
                                                                                         
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. 

''Bunda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan.

Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.                                                                    
                                                                                         
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. 

''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.''

Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.                                                                                                                                         
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya                           sendiri.                                                                               
                                                                                          
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. 

''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. 

Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.                                            
                                                                                         
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan . Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan ?'' 

Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.                                             
                                                                                         
Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.                                              
                                                                                         
Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.                                
                                                                                         
Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.                                                           
                                                                                         
Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang  disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.                       
                                                                                         
Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.                               
                                                                                          
Pelajaran yang sangat menyedihkan.


Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah di atas. Dan semoga Allah SWT selalu melindungi kita dan keluarga kita. aamiin.

Senin, 18 Januari 2016

Sholat Subuh di Masjid

Seorang pria bangun pagi-pagi buta untuk sholat subuh di Masjid. Dia berpakaian, berwudhu dan berjalan menuju masjid. Di tengah jalan menuju masjid, pria tersebut jatuh dan pakaiannya kotor. Dia bangkit, membersihkan bajunya, dan pulang kembali ke rumah. Di rumah, dia berganti baju, berwudhu, dan berjalan lagi menuju masjid .

Dalam perjalanan kembali ke masjid , dia jatuh lagi di tempat yg sama. Dia sekali lagi bangkit, membersihkan dirinya dan kembali kerumah. Di rumah, dia sekali lagi berganti baju, berwudhu dan berjalan menuju kembali masjid.

Di tengah jalan menuju masjid, dia bertemu seorang pria yg memegang lampu. Dia menanyakan identitas pria tsb, dan pria itu menjawab.

"Aku melihat anda jatuh 2 kali di perjalanan menuju masjid, jadi aku membawakan lampu untuk menerangi jalan Anda."

Pria pertama mengucapkan terima kasih dan mereka berdua berjalan ke masjid. Saat sampai di masjid , pria pertama bertanya kepada pria yang  membawa lampu untuk masuk dan sholat subuh bersamanya. Pria kedua menolak. Pria pertama mengajak lagi hingga berkali-kali dan lagi, jawabannya sama. Pria pertama bertanya, kenapa menolak untuk masuk dan sholat.

Pria kedua menjawab, "Aku adalah Setan".

Pria itu terkejut dengan jawaban pria kedua

Setan kemudian menjelaskan "Aku melihat kamu berjalan ke masjid, dan akulah yg membuat kamu terjatuh. Ketika kamu pulang ke rumah, membersihkan badan dan kembali ke masjid, Allah memaafkan semua dosamu. Aku membuatmu jatuh kedua kalinya, dan bahkan itupun tidak membuatmu merubah pikiran untuk tinggal dirumah saja, kamu tetap memutuskan kembali masjid. Karena hal itu, Allah memaafkan dosa-dosa seluruh anggota keluargamu. Aku khawatir, jika aku membuat mu jatuh untuk ketiga kalinya, jangan-jangan Allah akan memaafkan dosa-dosa seluruh penduduk desamu, jadi aku harus memastikan bahwa anda sampai di masjid dengan selamat."

Jadi, jangan pernah biarkan Setan mendapatkan keuntungan dari setiap aksinya. Jangan melepaskan sebuah niat baik yg hendak Anda lakukan karena Anda tidak pernah tau ganjaran yang akan Anda dapatkan dari segala kesulitan yang Anda temui dalam usaha Anda untuk melaksanakan niat baik tersebut.

catatan tambahan,

Jika kita berwudhu di rumah, lalu berjalan ke masjid dengan niat sholat berjamaah tepat waktu. Satu langkah kaki kanan kita akan menghapus dosa-dosa kita, dan satu langkah kaki kiri kita akan menaikkan derajat kita. Insya Allah.

Selasa, 05 Januari 2016

Sepotong roti gosong

Ketika aku masih anak perempuan kecil, ibu suka membuat sarapan dan makan malam. Dan suatu malam, setelah ibu sudah membuat sarapan, bekerja keras sepanjang hari, malamnya menghidangkan sebuah piring berisi telur, saus dan roti panggang yang gosong di depan meja ayah.

Saya ingat, saat itu menunggu apa reaksi dari orang-orang di situ.

Akan tetapi, yang dilakukan ayah adalah mengambil roti panggang itu, tersenyum pada ibu, dan menanyakan kegiatan saya di sekolah. Saya tidak ingat apa yang dikatakan ayah malam itu, tetapi saya melihatnya mengoleskan mentega dan selai pada roti panggang itu dan menikmati setiap gigitannya.

Ketika saya beranjak dari meja makan malam itu, saya mendengar ibu meminta maaf pada ayah karena roti panggang yang gosong itu.

Dan satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah apa yang ayah katakan: "Sayang, aku suka roti panggang yang gosong."

Sebelum tidur, saya pergi untuk memberikan ciuman selamat tidur pada ayah. Saya bertanya apakah ayah benar-benar menyukai roti panggang gosong.

Ayah memeluk saya erat dengan kedua lengannya yang kekar dan berkata, "Debbie, ibumu sudah bekerja keras sepanjang hari ini dan dia benar-benar lelah. Jadi sepotong roti panggang yang gosong tidak akan menyakiti siapa pun."

Apa yang saya pelajari di tahun-tahun berikutnya adalah belajar untuk menerima kesalahan orang lain, dan memilih untuk merayakan perbedaannya - adalah satu kunci yang sangat penting untuk menciptakan sebuah hubungan yang sehat, bertumbuh dan abadi.