Selasa, 10 November 2015

Tangisan pertama

Malam yang dingin itu, lutfi masih saja asyik dengan kebiasaan lamanya. Mabuk mabukan, judi dengan ditemani wanita seksi, sudah biasa dalam kehidupannya. Disaat semua orang terlena dengan mimpi mimpi tidurnya, ia malah makin nikmat dengan permainan maksiatnya.

Tiba tiba hp nya berdering tanda sms masuk.
"Sebentar kawan", ucap lutfi. 

"Segera pulang, istrimu sedang dirumah sakit, ia akan melahirkan.

Spontan ia terkejut. Lalu bergegas menghidupkan sepeda motornya. Sampai dirumah sakit. Mertuanya langsung menyemprot nya dengan bumbu bumbu ceramah. Ia tak ambil pusing, segera saja ia bertanya kepada dokter tentang keadaan istrinya. Lutfi memang termasuk bandit. Semua orang mengetahuinya. Tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa cintanya pada sang istri yang begitu sabar menghadapi sifat bejatnya.

Pernah suatu ketika, ia tertangkap oleh polisi dan dipenjara beberapa bulan. Hanya istrinya yang selalu setia menjenguk dan membawakan makanan ke penjara. Guna menjaga gizi sang suami tercinta. Itu terjadi pada saat bulan kedua pernikahannya.

"Dok, gimana kondisi istriku?” Tanya Lutfi pada dokter.

"Tenang, pak. Istri bapak besok akan segera kita operasi. Air ketubannya sudah kering. Sekarang kita bantu dengan infus, kita akan persiapkan semuanya. Tolong pak, diurus administrasinya”, jelas dokter.

Baik pak.. saya minta tolong pak, berikan yang terbaik untuk istri saya"

Melihat suasana itu, mertuanya terlihat luluh, memang lutfi dikenal masyarakat sebagai pemuda yang brandal, mungkin karena umurnya yang masih muda, tetapi didalam relung hatinya, ia sangat mencintai istrinya.

* * * * * * * * * *

Didepan kamar operasi, keluarga dan tetangga dekat telah menunggu apa yang akan terjadi. Tiba tiba pintu ruang operasi terbuka, setelah dua jam mereka menunggu.

"Siapa ayahnya?" suara perawat memecah kerisauan.

"Saya mbak", jawab Lutfi spontan.

"Selamat, Pak. Anak bapak laki laki", ucap suster.

"Alhamdulillah", teriak serentak di ruangan itu.

“ Istri saya gimana mbak?"

“ Tenang, Pak. Lagi dalam pemulihan, ia tak apa apa. Masih dalam efek bius. Lebih baik bapak ikut saya keruang incubator, biar sikecil langsung di azankan", jelas mbak perawat.

"Azan”, teriak halus bibirnya.

Seketika mendengar seruan untuk mengazankan anaknya. Sontak kaki Lutfi kaku bagai tak ada refleks untuk bergerak. Ia diam membisu, bibirnya gemetar, ia bingung dengan apa yang terjadi. Keluarga yang melihat kejadian itu, tidak begitu kaget, karena Lutfi dikenal sebagai sosok yang tak tahu soal agama.

"Sholat aja tak pernah apalagi bacaannya”, celetuk bibir usil salah satu keluarga.

“Ba…baik mbak”, jawab lutfi terbata.

Di ruang incubator, lutfi mengumandangkan azan ditelinga kanan putranya. Ia memang tak pernah sholat, tapi ia sering mendengar suara azan berkumandang di mesjid dekat rumahnya. Ia masih ingat nada nada seruan sholat itu, walaupun tidak tau artinya tapi ia ingat betul urutannya.

“Allahu Akbar... Allahu Akbar...”
“Laailaahaillallahu...”

Keluarga yang sedang penasaran ingin melihat sang bayi, tepat di depan pintu ruang incubator terkejut, heran, kagum, haru, menyaksikan suasana itu.

"Bisa juga ya anak itu azan”, celetuk bibir ibu mertuanya.

Lutfi yang terdiam kaku melihat wajah bayi mungil itu, tak terasa matanya basah meneteskan air bening hingga membasahi pipinya, kakinya kaku bagai dipasung, badannya oleng tak seimbang hingga akhirnya ia roboh, membentuk posisi sujud kepada Rabb nya. Ia bingung dengan kondisi dirinya. 

"apa yang terjadi?", lirih hatinya kebingungan.

Keluarganya di luar lebih kaget melihat lutfi dengan posisi sujud itu. Adik ipar yang hendak masuk untuk menolong abang iparnya itu, dilarang Pak Mansyur tetangga lutfi yang ikut menjeguk.

"Biarkan saja, hidayah ALLAH sedang berproses pada dirinya", jawab pak mansyur, takmir mesjid dekat rumahnya.

Keluarga, tetangga dan para penjeguk dari teman temannya, haru terdiam melihat suasana itu. Malah ibu mertuanya menangis menyaksikan peristiwa itu.

Lutfi masih sujud, air matanya sudah menggenangi lantai ruangan itu. Sudah sepuluh menit ia dibiarkan begitu, tubuhnya yang masih lemas tiba tiba bangkit mendengar tangisan putranya, seakan putranya tahu kondisi ayahnya. Dan menangis memecah suasana. Tangisan itulah yang membawa cahaya bagi hidupnya.

Kamis, 05 November 2015

Secangkir Coklat Panas

Sekelompok alumni yang sudah mapan dalam karir, sedang berbincang-bincang pada saat rreuni dan memutuskan untuk pergi mengunjungi professor universitas mereka yang sekarang sudah pensiun.



Dalam kunjungan tersebut, pembicaraan berubah menjadi kelruhan mengenai stress pada kehidupan dan pekerjaan mereka. Profesor itu menyajikan coklat panas pada tamu-tamunya. Ia pergi ke dapur dan kembali dengan coklat panas dalam teko besar dan beberapa cangkir porselen, gelas, kristal dan beberapa cangkir yang biasa-biasa saja.Ada beberapa yang mahal, ada yang cantik dan mengatakan kepada mereka untuk mengambil sendiri coklat panas tersebut.

Ketika mereka masing-masing memegang secangkir coklat panas di tangan mereka, Professor itu berkata, "Lihatlah semua cangkir yang bagus, dan mahal, semuanya telah diambil, yang tertinggal hanyalah yang biasa dan yang murah."

"Adalah normal bagi kalian untuk menginginkan yang terbaik bagi kalian semua, itu adalah sumber dari masalah dan stress kalian. Cangkir yang kalian minum tidak menambahkan kualitas dari coklat panas tersebut."

"Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah coklat panas, bukan cangkirnya; tetapi secara tidak sadar kalian menginginkan cangkir yang terbaik, kemudian kalian mulai saling melihat dan membandingkan cangkir masing-masing."

Profesor berhenti sejenak, lalu berkata, "Sekarang pikirkan ini: Kehidupan adalah coklat panas; pekerjaan, uang dan kedudukan di masyarakat adalah cangkirnya. Itu hanyalah alat untuk memegang dan memuaskan kehidupan. Cangkir yang kau miliki tidak akan menggambarkan, atau mengubah kualitas kehidupan yang kalian miliki. Terkadang, dengan memusatkan perhatian kita pada cangkirnya, kita gagal untuk menikmati coklat panas yang telah Tuhan sediakan bagi kita. Tuhan membuat coklat panasnya, tetapi manusia memilih cangkirnya."

"Orang-orang yang paling bahagia tidak memiliki semua yang terbaik. Mereka hanya berbuat yang terbaik dari apa yang mereka miliki.".