Kamis, 10 Desember 2015

Batu Kecil

Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada suatu saat ia harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerjanya yang ada di bawahnya. Pekerja itu berteriak-teriak,tetapi temannya tidak bisa mendengarnya karena suara bising dari mesin-mesin dan orang-orang yang bekerja, sehingga usahanya sia-sia saja.

Oleh karena itu untuk menarik perhatian orang yang ada di bawahnya, ia mencoba melemparkan uang logam di depan temannya. Temannya berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja kembali. Pekerja itu mencoba lagi, tetapi usahanya yang keduapun memperoleh hasil yang sama. Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia mengambil batu kecil lalu melemparkannya ke arah orang itu. Batu itu tepat mengenai kepala temannya, dan karena merasa sakit, temannya menengadah ke atas? Sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan yang berisi pesannya.

Allah kadang-kadang menggunakan cobaan-cobaan ringan untuk membuat kita menengadah kepadaNya. Seringkali Allah melimpahi kita dengan rahmat, tetapi itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepadaNya. Karena itu, agar kita selalu mengingat kepadaNya, Allah sering menjatuhkan "batu kecil" kepada kita. 

Selasa, 10 November 2015

Tangisan pertama

Malam yang dingin itu, lutfi masih saja asyik dengan kebiasaan lamanya. Mabuk mabukan, judi dengan ditemani wanita seksi, sudah biasa dalam kehidupannya. Disaat semua orang terlena dengan mimpi mimpi tidurnya, ia malah makin nikmat dengan permainan maksiatnya.

Tiba tiba hp nya berdering tanda sms masuk.
"Sebentar kawan", ucap lutfi. 

"Segera pulang, istrimu sedang dirumah sakit, ia akan melahirkan.

Spontan ia terkejut. Lalu bergegas menghidupkan sepeda motornya. Sampai dirumah sakit. Mertuanya langsung menyemprot nya dengan bumbu bumbu ceramah. Ia tak ambil pusing, segera saja ia bertanya kepada dokter tentang keadaan istrinya. Lutfi memang termasuk bandit. Semua orang mengetahuinya. Tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa cintanya pada sang istri yang begitu sabar menghadapi sifat bejatnya.

Pernah suatu ketika, ia tertangkap oleh polisi dan dipenjara beberapa bulan. Hanya istrinya yang selalu setia menjenguk dan membawakan makanan ke penjara. Guna menjaga gizi sang suami tercinta. Itu terjadi pada saat bulan kedua pernikahannya.

"Dok, gimana kondisi istriku?” Tanya Lutfi pada dokter.

"Tenang, pak. Istri bapak besok akan segera kita operasi. Air ketubannya sudah kering. Sekarang kita bantu dengan infus, kita akan persiapkan semuanya. Tolong pak, diurus administrasinya”, jelas dokter.

Baik pak.. saya minta tolong pak, berikan yang terbaik untuk istri saya"

Melihat suasana itu, mertuanya terlihat luluh, memang lutfi dikenal masyarakat sebagai pemuda yang brandal, mungkin karena umurnya yang masih muda, tetapi didalam relung hatinya, ia sangat mencintai istrinya.

* * * * * * * * * *

Didepan kamar operasi, keluarga dan tetangga dekat telah menunggu apa yang akan terjadi. Tiba tiba pintu ruang operasi terbuka, setelah dua jam mereka menunggu.

"Siapa ayahnya?" suara perawat memecah kerisauan.

"Saya mbak", jawab Lutfi spontan.

"Selamat, Pak. Anak bapak laki laki", ucap suster.

"Alhamdulillah", teriak serentak di ruangan itu.

“ Istri saya gimana mbak?"

“ Tenang, Pak. Lagi dalam pemulihan, ia tak apa apa. Masih dalam efek bius. Lebih baik bapak ikut saya keruang incubator, biar sikecil langsung di azankan", jelas mbak perawat.

"Azan”, teriak halus bibirnya.

Seketika mendengar seruan untuk mengazankan anaknya. Sontak kaki Lutfi kaku bagai tak ada refleks untuk bergerak. Ia diam membisu, bibirnya gemetar, ia bingung dengan apa yang terjadi. Keluarga yang melihat kejadian itu, tidak begitu kaget, karena Lutfi dikenal sebagai sosok yang tak tahu soal agama.

"Sholat aja tak pernah apalagi bacaannya”, celetuk bibir usil salah satu keluarga.

“Ba…baik mbak”, jawab lutfi terbata.

Di ruang incubator, lutfi mengumandangkan azan ditelinga kanan putranya. Ia memang tak pernah sholat, tapi ia sering mendengar suara azan berkumandang di mesjid dekat rumahnya. Ia masih ingat nada nada seruan sholat itu, walaupun tidak tau artinya tapi ia ingat betul urutannya.

“Allahu Akbar... Allahu Akbar...”
“Laailaahaillallahu...”

Keluarga yang sedang penasaran ingin melihat sang bayi, tepat di depan pintu ruang incubator terkejut, heran, kagum, haru, menyaksikan suasana itu.

"Bisa juga ya anak itu azan”, celetuk bibir ibu mertuanya.

Lutfi yang terdiam kaku melihat wajah bayi mungil itu, tak terasa matanya basah meneteskan air bening hingga membasahi pipinya, kakinya kaku bagai dipasung, badannya oleng tak seimbang hingga akhirnya ia roboh, membentuk posisi sujud kepada Rabb nya. Ia bingung dengan kondisi dirinya. 

"apa yang terjadi?", lirih hatinya kebingungan.

Keluarganya di luar lebih kaget melihat lutfi dengan posisi sujud itu. Adik ipar yang hendak masuk untuk menolong abang iparnya itu, dilarang Pak Mansyur tetangga lutfi yang ikut menjeguk.

"Biarkan saja, hidayah ALLAH sedang berproses pada dirinya", jawab pak mansyur, takmir mesjid dekat rumahnya.

Keluarga, tetangga dan para penjeguk dari teman temannya, haru terdiam melihat suasana itu. Malah ibu mertuanya menangis menyaksikan peristiwa itu.

Lutfi masih sujud, air matanya sudah menggenangi lantai ruangan itu. Sudah sepuluh menit ia dibiarkan begitu, tubuhnya yang masih lemas tiba tiba bangkit mendengar tangisan putranya, seakan putranya tahu kondisi ayahnya. Dan menangis memecah suasana. Tangisan itulah yang membawa cahaya bagi hidupnya.

Kamis, 05 November 2015

Secangkir Coklat Panas

Sekelompok alumni yang sudah mapan dalam karir, sedang berbincang-bincang pada saat rreuni dan memutuskan untuk pergi mengunjungi professor universitas mereka yang sekarang sudah pensiun.



Dalam kunjungan tersebut, pembicaraan berubah menjadi kelruhan mengenai stress pada kehidupan dan pekerjaan mereka. Profesor itu menyajikan coklat panas pada tamu-tamunya. Ia pergi ke dapur dan kembali dengan coklat panas dalam teko besar dan beberapa cangkir porselen, gelas, kristal dan beberapa cangkir yang biasa-biasa saja.Ada beberapa yang mahal, ada yang cantik dan mengatakan kepada mereka untuk mengambil sendiri coklat panas tersebut.

Ketika mereka masing-masing memegang secangkir coklat panas di tangan mereka, Professor itu berkata, "Lihatlah semua cangkir yang bagus, dan mahal, semuanya telah diambil, yang tertinggal hanyalah yang biasa dan yang murah."

"Adalah normal bagi kalian untuk menginginkan yang terbaik bagi kalian semua, itu adalah sumber dari masalah dan stress kalian. Cangkir yang kalian minum tidak menambahkan kualitas dari coklat panas tersebut."

"Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah coklat panas, bukan cangkirnya; tetapi secara tidak sadar kalian menginginkan cangkir yang terbaik, kemudian kalian mulai saling melihat dan membandingkan cangkir masing-masing."

Profesor berhenti sejenak, lalu berkata, "Sekarang pikirkan ini: Kehidupan adalah coklat panas; pekerjaan, uang dan kedudukan di masyarakat adalah cangkirnya. Itu hanyalah alat untuk memegang dan memuaskan kehidupan. Cangkir yang kau miliki tidak akan menggambarkan, atau mengubah kualitas kehidupan yang kalian miliki. Terkadang, dengan memusatkan perhatian kita pada cangkirnya, kita gagal untuk menikmati coklat panas yang telah Tuhan sediakan bagi kita. Tuhan membuat coklat panasnya, tetapi manusia memilih cangkirnya."

"Orang-orang yang paling bahagia tidak memiliki semua yang terbaik. Mereka hanya berbuat yang terbaik dari apa yang mereka miliki.".

Jumat, 30 Oktober 2015

Nilai Diri Kita

Pada suatu ketika, di sebuah taman kecil ada seorang kakek. Di dekat kaket tersebut terdapat beberapa anak yang sedang asyik bermain pasir, membentuk lingkaran. Kakek itu lalu menghampiri mereka, dan berkata:

“Siapa diantara kalian yang mau uang Rp. 50.000!!” Semua anak itu terhenti bermain dan serempak mengacungkan tangan sambil memasang muka manis penuh senyum dan harap. Kakek lalu berkata, “Kakek akan memberikan uang ini, setelah kalian semua melihat ini dulu.”

Kakek tersebut lalu meremas-remas uang itu hingga lusuh. Di remasnya terus hingga beberapa saat. Ia lalu kembali bertanya “Siapa yang masih mau dengan uang ini lusuh ini?” Anak-anak itu tetap bersemangat mengacungkan tangan.

“Tapi,, kalau kakek injak bagaimana? “. Lalu, kakek itu menjatuhkan uang itu ke pasir dan menginjaknya dengan sepatu. Di pijak dan di tekannya dengan keras uang itu hingga kotor. Beberapa saat, Ia lalu mengambil kembali uang itu. Dan kakek kembali bertanya: “Siapa yang masih mau uang ini?”

Tetap saja. Anak-anak itu mengacungkan jari mereka. Bahkan hingga mengundang perhatian setiap orang. Kini hampir semua yang ada di taman itu mengacungkan tangan.

***

Cerita diatas sangatlah sederhana. Namun kita dapat belajar sesuatu yang sangat berharga dari cerita itu. Apapun yang dilakukan oleh si Kakek, semua anak akan tetap menginginkan uang itu, Kenapa? karena tindakan kakek itu tak akan mengurangi nilai dari uang yang di hadiahkan. Uang itu tetap berharga Rp. 50.000

Seringkali, dalam hidup ini, kita merasa lusuh, kotor, tertekan, tidak berarti, terinjak, tak kuasa atas apa yang terjadi pada sekeliling kita, atas segala keputusan yang telah kita ambil, kita merasa rapuh. Kita juga kerap mengeluh atas semua ujian yang di berikan-Nya. Kita seringkali merasa tak berguna, tak berharga di mata orang lain. Kita merasa di sepelekan, di acuhkan dan tak dipedulikan oleh keluarga, teman, bahkan oleh lingkungan kita.

Namun, percayalah, apapun yang terjadi, atau *bakal terjadi*, kita tak akan pernah kehilangan nilai kita di mata Allah. Bagi-Nya, lusuh, kotor, tertekan, ternoda, selalu ada saat untuk ampunan dan maaf. Kita tetap tak ternilai di mata Allah.

Nilai dari diri kita, tidak timbul dari apa yang kita sandang, atau dari apa yang kita dapat. Nilai diri kita, akan dinilai dari akhlak dan perangai kita. Tingkah laku kita. seberapapun kita diinjak oleh ketidak adilan, kita akan tetap diperebutkan, kalau kita tetap konsisten menjaga sikap kita.

Akhlak adalah bunga kehidupan kita. Merupakan seberapa bernilainya manusia. Dengan akhlak, rasa sayang dan senang akan selalu mengikuti kita, dan merupakan modal hidup.

Orang yang tidak mempunyai akhlak, meskipun ia berharta, tidak ada nilainya. Meskipun dia cantik, tapi jika sikapnya buruk dan tiada berakhlak, maka kecantikannya tiada berguna baginya. Begitu pula dengan orang yang berpangkat tinggi, tanpa akhlak, dia menjadi orang yang dibenci.

Selasa, 13 Oktober 2015

6 pertanyaan

Suatu hari Seorang Guru berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu beliau mengajukan enam pertanyaan.

Pertama
"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab.... "orang tua", "guru", "teman", dan "kerabatnya" ..
Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar...
Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "kematian".. ..
Sebab kematian adalah PASTI adanya....

Lalu Sang Guru meneruskan pertanyaan kedua
"Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab... "negara Cina", "bulan", "matahari", dan "bintang-bintang" ...
Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah benar...
Tapi yang paling benar adalah "masa lalu"...
Siapa pun kita... bagaimana pun kita...dan betapa kayanya kita... tetap kita
TIDAK bisa kembali ke masa lalu...
Sebab itu kita harus menjaga hari ini... dan hari-hari yang akan datang..

Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga
"Apa yang paling besar di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab "gunung", "bumi", dan "matahari".. ..
Semua jawaban itu benar kata Sang Guru ...
Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu"...
Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya...
Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu duniawi ...
Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini... jangan sampai
nafsu membawa kita ke neraka (atau kesengsaraan dunia dan akhirat)...

Pertanyaan keempat adalah...
"Apa yang paling berat di dunia ini...???"
Di antara muridnya ada yang menjawab... "baja", "besi", dan "gajah"...
"Semua jawaban hampir benar...", kata Sang Guru ..
tapi yang paling berat adalah "memegang amanah"...

Pertanyaan yang kelima adalah... "Apa yang paling ringan di dunia ini...???"
Ada yang menjawab "kapas", "angin", "debu", dan "daun-daunan" ...
"Semua itu benar...", kata Sang Guru...
tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "meninggalkan ibadah"...

Lalu pertanyaan terakhir adalah...
"Apakah yang paling tajam di dunia ini...???"
Murid-muridnya menjawab dengan serentak... "PEDANG...!! !"
"(hampir) Benar...", kata Sang Guru
tetapi yang paling tajam adalah "lidah manusia"...
Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati... dan
melukai perasaan saudaranya sendiri...

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan kematian, senantiasa belajar dari masa lalu, dan tidak memperturutkan nafsu?

Sudahkah kita mampu mengemban amanah sekecil apapun dengan tidak meninggalkan ibadah serta senantiasa menjaga lidah kita ?

Sabtu, 03 Oktober 2015

Sapu lidi

Satu siang di Bekasi, lampu merah menyala. Seorang nenek-nenek renta dengan hanya sebelah tangan menawarkan sapu lidi, sebelah tangannya lagi tidak nampak, hanya terlihat pangkal lengan yang kosong. Hatiku nyeri, kuturunkan kaca mobil,

“Berapa Nek ?” 

“Sepuluh ribu, Mas”

Kuulurkan sepuluh ribuan, kukira aku akan mendapat satu sapu lidi. Tapi nenek-nenek itu mengangsurkan semua, tiga sapu lidi yang dipegang dengan sebelah tangannya yang tersisa.

“Saya cuma beli satu Nek” kataku ragu

“Enggak pa pa, Mas. Tiga-tiganya ini sepuluh ribu” jawab nenek itu

Lalu nenek itu mengucapkan terima kasih yang diteruskan dengan rentetan doa untuk keselamatan dan keberkahan bagiku. Sepuluh ribu untuk tiga sapu lidi, dan untuk doa yang tak ternilai harganya.

Tapi tiba-tiba,
“Ngapain sih beli begituan ?” hmmmmm, teman seperjalananku protes

“Nggak liat kenapa ?” jawabku rada sengak juga

“Sepuluh orang aja seperti kamu, seratus ribu sehari, tiga juta sebulan”

Aku memilih diam

“Gaji pramuniaga saja nggak sampai segitu”

“Nenek itu nggak mungkin jadi pramuniaga, Mas” balasku..

“Tiga juta sebulan dari sapu lidi begituan” masih saja bersungut-sungut.

“Oke, kamu gantian jadi nenek itu, tiga juta sebulan. Mau ?!!”.

Huhhhh, hilang semua protes.

Apa susahnya berbagi sedikit keberuntungan kita, untuk ketidakberuntungan orang lain? 

Ngomong-ngomong, aku sendirian di mobil, jadi kenalkan, itu tadi sisi diriku yang lain.

Selasa, 29 September 2015

Bukan saya, Bos !!!

Ini cerita tiga orang sahabat yang sedang bertugas ke suatu daerah di luar pulau asal mereka. Mereka tinggal di sebuah rumah di pedalaman. Rumah itu dirawat oleh seorang pribumi setempat, yang tugasnya hanya dua yakni merawat rumah dan memasak. Selama beberapa hari semua urusan berjalan dengan lancar, kecuali satu hal: mereka punya satu botol anggur yang mahal yang disimpan di ruang makan, yang setiap harinya sepertinya terus berkurang padahal mereka tidak pernah meminumnya.

Anggur ini mahal dan mereka ingin menyimpannya untuk acara spesial. Yang mereka temukan adalah setiap hari jumlahnya sedikit demi sedikit berkurang. Mereka pun memutuskan untuk mengukur kekurangannya dengan membuat garis kecil pada botol, sehingga apabila memang berkurang lagi mereka bisa tahu dengan jelas. Dan setelah membuat garis tersebut, mereka menemukan ternyata jumlah anggur dalam botol tersebut berkurang terus setiap hari. Sedikit demi sedikit. Mereka tidak punya tertuduh lain lagi selain sang pribumi setempat, penunggu rumah yang lugu tersebut, sebab ketiganya memang jarang di rumah. 

Suatu kali ketiganya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan mereka merencanakan memberi pelajaran si penunggu rumah. Mereka mengambil botol anggur dan mengganti isinya dengan air seni mereka. Setelah itu mereka letakan kembali botol anggur tersebut seperti biasa. Dan yang mereka temukan, setiap hari jumlah air seni ini pun berkurang seperti halnya anggur. 

Suatu hari mereka tidak tega lagi membayangkan bahwa si penunggu rumah yang baik hati ini sampai meneguk air seni mereka. Mereka memutuskan untuk memanggil si penunggu rumah dan menanyakan perihal anggur. Dan dengan gaya yang tidak menuduh langsung, mereka mengatakan bahwa mereka perhatikan persediaan anggur mereka di satu-satunya botol di rumah itu selalu menipis, dan pasti ada seorang di rumah ini yang meminumnya! Serta merta si penunggu rumah polos ini menyahut "Not me, Boss! Selama ini saya hanya menggunakannya untuk keperluan memasak hidangan para Boss!" 

Sahabat, terlalu banyak kejadian yang akhirnya justru menyiksa kita sendiri, hanya karena kita malas, atau malu untuk bertanya. Kita memilih berasumsi yang belum tentu benar ketimbang mencari jawaban langsung dengan menanyakannya kepada orang yang bersangkutan. Dan terkadang hasil dari sebuah asumsi itu hanya melahirkan hal-hal lainnya yang lebih rumit, dibandingkan bila kita langsung mencari pokok masalah dengan bertanya kepada sumbernya. Satu hal lagi yang mungkin agak parah, kita justru mendapatkan akibat dari perbuatan kita sendiri, yang sebenarnya tidak perlu terjadi, hanya karena kita terlalu sering berasumsi. 

Minggu, 27 September 2015

Tongkat punya siapa?

Suatu malam ketika hujan lebat , seorang penunggang kuda berhenti di pinggiran sebuah hutan tidak jauh dari tepian sungai. Dia ingin berteduh. Setelah mencari , akhirnya dia menemukan sebatang tongkat panjang dan menancapkan kuat-kuat, sehingga kudanya bisa ditambatkan disana.

Keesokan harinya , ketika akan berangkat meneruskan perjalanan dia berpikir bagaimana dengan tongkat ini apakah akan dibawa?

“Ah biarkan saja disini, siapa tau ada penunggang kuda lain yang bernasib sama seperti saya dan mau menggunakan tongkat ini!” Lalu dia meneruskan perjalanannya.

Tak lama kemudian lewatlah seorang petualang yang akan merambah hutan. Melihat tongkat yang berdiri tegak tertancap ditanah dia berpikir, ini akan membahayakan orang lain yang lewat apalagi jika malam hari, tentu akan tersandung, digeletakkan disisi lagi sehingga tidak mengganggu pejalan kaki dan diapun meneruskan perjalanannya bertualang.

Berikut lewat seorang pemancing yang akan memancing ikan tidak jauh dari tempat tersebut. Melihat ada sebuah tongkat panjang yang tergeletak dipinggir jalan, dia lansung berteriak “Aha...sudah dari tadi aku mencari tongkat untuk mengukur kedalaman sungai sehingga aku bisa memancing ke tengah sampai batas pinggang, akhirnya ketemu juga!”

Diapun membawa tongkat tersebut lalu dipakainya untuk mengukur kedalaman tepian sungai, agar dia bisa mendapatkan ikan yang lebih besar dengan memancing agak ke tengah sungai. 

Akhirnya memang benar, sang pemancing mendapatkan ikan yang cukup banyak dan besar-besar berkat tongkat panjang tersebut. Dengan muka berseri-seri , dia pulang sambil mengucapkan terimakasih kapada “tongkat” yang telah berjasa menolongnya untuk mengukur kedalaman tepian sungai. Selanjutnya dia berpikir tongkat tersebut tidak akan dibawanya pulang, namun dibiarkannya saja tergeletak ditepi sungai tersebut, siapa tahu ada pemancing lain yang membutuhkan agar sukacita yang dirasakannya sekarang karena memperoleh banyak ikan dapat dirasakan juga oleh pemancing lain kelak. Tongkatpun digeletakkan ditepi sungai, lalu dia pergi membawa hasil pancingannya.

Selang beberapa hari kemudian, tidak ada seorangpun yang melewati daerah tersebut dan tongkatpun tergeletak saja ditepi sungai. Semakin hari kayu tersebut semakin kering. Hingga lewatlah seorang lelaki pencari kayu yang sudah kesana kemari belum menemukan kayu kering. Kayu itu akan dijadikan kayu bakar untuk menanak nasi bagi keluarganya. Semua kayu yang diperoleh kurang bagus untuk memasak, hingga dia menemukan sebatang tongkat kering yang agak panjang untuk dijadikan kayu bakar. Dengan menggunakan parangnya, kayu tersebut dipotong-potong untuk dijadikan kayu bakar dirumahnya.

*** 
Sesungguhnya apa yang kita miliki saat ini hanyalah bersifat sementara, sehingga rasanya agak berlebihan jika seseorang mengklaim bahwa apa yang dimilikinya saat ini adalah miliknya yang abadi selamanya. Tidak ada satu orangpun di dunia ini bisa memiliki segala sesuatu tanpa sepengetahuan dan seizin sang khalik. Dia yang memberi dan Dia juga yang dapat mengambilnya dalam sekejap.

Itulah sebabnya semakin seseorang menerima dan memiliki segala sesuatu , baik fisik (harta) maupun non fisik ( jabatan, gelar, kompetensi) seyogyanya harus semakin hidup rendah hati, dan syukur. Sudah saatnya apa yang dimiliki dibagikan kepada orang lain, agar orang lainpun dapat merasakan Berkah Sang Khalik melalui uluran tangan kita. 

Orang yang memberi tidak akan pernah kekurangan. Namun mereka yang sulit memberi (pelit) justru akan selalu merasa kekurangan dan ketakutan. Didalam pemberian ada kebahagiaan dan kebersamaan. Melalui pemberian , kita menyadari bahwa sesungguhnya manusia itu tidak sendiri dalam menjalani hari –hari kehidupannya.

Bukankah segala sesuatu ada masanya?

Ketika masa yang datang kurang menguntungkan dan menjadi beban (paceklik) , bukankah Sang Khalik dapat menggunakan tangan orang lain untukmenolong kita?

Tulisan ini mengisyaratkan kepada manusia bahwa kehidupan ini sesungguhnya sangat berkaitan dengan orang lain dan dalam rentang waktu tertentu.

Namun demikian mereka yang memiliki mental pecundang sulit untuk mengestafetkan tongkat yang dimilikinya. 

*** 

Perbedaan antara pemenang atau pecundang dalam mengestafetkan tongkat adalah, 

Pemenang selalu menjadi bagian dari jawaban
Pecundang selalu menjadi bagian dari masalah

Pemenang selalu mempunyai program
Pecundang selalu mempunyai alasan

Pemenang berkata ; “Saya kerjakan bagi Anda”
Pecundang berkata : “Itu bukan tugas saya”

Pemenang selalu melihat jawaban dalam setiap masalah
Pecundang selalu melihat masalah pada setiap solusi

Pemenang berkata : “Walau sulit, tapi bisa dilakukan”
Pecundang berkata : “Mungkin bisa dilakukan, tapi sulit”

Apapun yang telah anda terima lebih daripada yang lain-dalam hal kesehatan, dalam talenta, dalam kompetensi, dalam kesuksesan dan kondisi rumah tangga serta karier, semuanya itu jangan dianggap sebagai suatu yang wajar. Dengan rasa syukur atas keberuntungan baik tersebut, anda harus rela mengorbankan kehidupan demi kehidupan sesama “ (Albert Schweitzer)

Selamat mengestafetkan tongkat anda.

Kamis, 24 September 2015

Lampu Merah

Dari kejauhan, lampu lalu lintas masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tidak mau terlambat. Apaagi ia tahu perempatan itu cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu menjadi kuning, hati Jono berdebar, berharap ia bisa melewatinya segera.

Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku tidak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.

Priiiittttt. ....!!!!!

Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan meminta Jono untuk berhenti. Jono menepikan kendaraannya sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu.

Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jono agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

"Hai Bob, senang sekali bertemu kamu lagi!"

"Hai Jon," tanpa senyum.

"Duh, sepertinya aku kena tilang nih? Memang aku agak terburu-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah."

"Oh ya?
"Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.

"Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya.Tentu aku tidak boleh terlambat dong."

"Saya mengerti, tapi sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.

"Ooooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.

"Jadi kamu hendak menilangku? Sungguh, tadinya aku tidak melewati lampu merah...sewaktu aku lewat lampunya masih kuning.

" Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

"Ayo dong Jon. kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu!

"Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya.Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandang wajah Bobi dengan penuh kecewa. Percuma saja berkawan, pikir Jono.Kawanpun ditilang juga.... Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima senti sudah cukup untuk memasukkan surat tilang.Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela.

Tapi, hey apa ini?
Ternyata SIM-nya dikembalikan dengan sebuah nota.Kenapa ia tidak menilangku? Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

"Halo Jono,Tahukah kamu Jon, dulu aku mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.Pengemudi itu dihukum penjara selama tiga bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya telah tiada.Kami terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya, begitu juga kali ini.Maafkan aku Jon, doakan agar permintaan kami dikabulkan. Berhati-hatilah. Salam, Bobi."

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi.Namun Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu, sambil berharap kesalahannya dimaafkan...

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain.Bisa jadi suka kita tidak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

Senin, 21 September 2015

Jam Weker Buat Ayah

Sore itu hujan rintik-rintik dan hari mulai gelap, adzan maghrib baru saja terlewati sekitar 25 menit yang lalu, aku masih terkungkung dibelakang kemudi mobil, menanti macetnya jalan yang luar biasa. Sebagai seorang karyawan, memang aku terbiasa melewati jalan macet seperti ini menuju pulang kerumah.

Rutinitas sebagai kepala rumahtangga mengharuskan aku menjalani hidup pergi pagi dan pulang petang bahkan sampai malam jika pekerjaan menumpuk sangat banyak. Selepas isya aku baru tiba dirumah, langsung mandi dan menikmati santap malam yang dihidangkan istriku.

Tiba-tiba si kecil yang berusia 7 tahun menghampiriku dan memberi sebuah hadiah berupa jam weker miliknya, katanya ia ingin memberikan hadiah agar ayah disayang oleh Allah.

Aku terkejut dengan ucapannya, “maksud kamu apa sayang?, ayah tidak mengerti."

“Ayah, aku ingin ayah disayang Allah”, jawabnya lagi. “iya nak” kita semua ingin disayang Allah, bukan cuma ayah, tapi juga kamu, ibu dan kakak.

“Tapi aku, ibu dan kakak sudah di sayang Allah, ayah belum”

”Dess”

Sesuatu yg tajam seperti menusuk jantungku dan jantungku berdetak keras ketika si kecil berbicara seperti itu. Aku berusaha menerka-nerka kemana arah pembicaraannya, dan apa kesalahanku sehingga anakku bisa berbicara seperti itu. Adakah selama ini kejahatan yang aku lakukan, aku tidak korupsi, juga tidak mencuri. Aku selalu berbuat baik kepada ayah dan ibuku, bersilaturahmi ke rumah saudara dan berbuat baik kepada tetangga. Sungguh aku sangat bingung oleh pernyataan si bungsu tadi.

“Begini ayah, berapa usia ayah sekarang”, aku menjawab, 36 - 37” jawabku

“yah hampir 40 deh” Pungkasku.

“Selama usia itu ayah telah melakukan yang terbaik untuk keluarga kita, memberi kami nafkah, makanan, pakaian, rumah, kendaraan, sekolah, rekreasi dan lain-lain”.

“Ya, betul itu dan itu memang tugas ayah” potongku.

“tapi ayah tidak memberikan yang terbaik buat ayah, ayah melupakan diri ayah sendiri”, aku bingung lantas menjawab. “Tentu tidak nak, ayah juga memberi makanan, pakaian, kendaraan buat ayah sendiri” bela ku tak mau kalah.

“Ayah”, anakku mendekatiku seraya berbisik. “Coba ayah hitung, berapa kali ayah meninggalkan sholat maghrib karena kesibukan ayah, berapa kali sholat subuh kesiangan karena ayah kelelahan, berapa kali ayah meninggalkan membaca alquran, belum lagi berapa lama ayah tidak sholat berjamaah di mesjid dan lain-lain ayah...” aku terdiam membisu tak mampu berkata apa-apa.

Melihat aku terdiam, anakku meneruskan kalimatnya.

“Ayah, tadi siang di sekolah, ustadzah bercerita tentang orang-orang yang disayang Allah, orang-orang yang akan selamat selama hidupnya, mereka adalah orang yang ketika mencapai usia empat puluh tahun tetap dalam keadaan beriman dan beramal sholeh.” Usia empat puluh itu merupakan pangkalnya seseorang apakah akan selamat atau tidak” Jika di usia empat puluh masih berbuat bermaksiat, kecil kemungkinan akan kembali kejalan yang benar ayah.”,

“Ketika ustadzah bercerita, aku teringat ayah dan aku menangis sedih. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan ayah, ayah hampir tak pernah mengajak kami sholat berjamaah, tak pernah mengajari kami mengaji, tak pernah membangunkan kami sholat subuh, ayah begitu asyik dengan dunia ayah, ayah begitu sibuk dengan pekerjaan ayah, dan ayah membiarkan itu terjadi kepada kami. Untung ada ibu yang mengingatkan kami, mengingatkan aku dan kakak untuk sholat dan mengaji.

Tapi aku ingin seperti anak-anak lain ayah, yang begitu riang berangkat ke mesjid bersama ayahnya, mengaji bersama dan berjamaah bersama-sama ayah. Ketika aku mendengar cerita ustadzah, yang ku lihat adalah wajah ayah, wajah ayah yang murung karena tidak disayang Allah, aku tak kuat membayangkan itu semua ayah, karena aku sangat menyayangi ayah, dan aku ingin ayahku juga disayang Allah, bukan cuma aku, kakak atau ibu”. Ayah, ambillah jam weker milikku ini, agar ayah bisa membangunkan aku esok pagi-pagi dan kita bisa sholat berjamaah bersama-sama esok hari.”

Air mataku mengalir deras, membasahi pipiku tiada henti, hatiku berdegup kencang tak karuan. Ternyata selama ini aku hanya memberikan nafkah dunia buat keluargaku, tetapi membiarkan kehidupan akhiratku terbengkalai, aku juga tidak memberikan teladan yang baik buat anak-anakku karena silaunya dunia yang menantangku untuk ditaklukan. “Ya robbi, ampuni aku, ampuni diri ini yang telah tertipu oleh silaunya materi”. “Nak, maafkan ayahmu, ayah telah mengabaikan kamu dan kakakmu selama ini. Tuhan terimakasih kau kirim hidayah melalui anak terkecilku”.

Seraya menghapus air mata aku berkata kepada anakku, “Nak, jangan tunggu besok, sekarang saja kita sholat berjamaah, mari kita berwudhu, mumpung waktu isya baru saja masuk”, ajak kakak dan ibumu bergabung bersama kita.” Anak ku pun tersenyum, terima kasih ayah, aku sangat sayang sama ayah”

Kami pun segera melaksanakan sholat berjamaah, aku saat itu merasa gerogi sekali, aku malu terhadap diriku, apalagi terhadap anak dan istriku, tapi aku tak peduli, aku lebih malu kepada Allah yg telah kulupakan selama ini.

Dalam suara parau, dalam khusuknya doa, aku menangis tersedu-sedu, dan baru kali ini aku merasakan sholat begitu khusuknya, begitu syahdunya.

Dalam sayup-sayup terdengar suara lirih anak ku berdoa “robbighfirli waali-waalidayya warhamhuma kama robbayani shogiiro” dan aku pun membalas “amin ya robb, kabulkan doa anak ku..”

sumber


Kamis, 17 September 2015

Mengasah Kapak

Alkisah ada seorang penebang pohon yang sangat kuat. Dia melamar pekerjaan pada seorang pedagang kayu, Gaji dan kondisi kerja yang diterimanya sangat baik. Penebang pohon memutuskan untuk bekerja sebaik mungkin.

Sang majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerjanya Hari pertama sang penebang pohon berhasil merobohkan 18 batang pohon. Sang majikan sangat terkesan dan berkata, "Bagus, bekerjalah seperti itu!"

Sangat termotivasi pujian majikannya, penebang pohon bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 15 batang pohon.

Hari ketiga dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hanya berhasil merobohkan 10 batang pohon. Hari-hari berikutnya pohon yang berhasil dirobohkan makin sedikit.

"Aku mungkin telah kehilangan kekuatanku", pikir penebang pohon itu.

Dia menemui majikannya dan meminta maaf, sambil mengatakan tidak mengerti apa yang terjadi.

"Kapan saat terakhir kau mengasah kapak?" sang majikan bertanya.

"Mengasah? Saya tidak punya waktu untuk mengasah kapak. Saya sangat sibuk mengapak pohon," katanya.

Kehidupan kita sama seperti itu. Seringkali kita sangat sibuk sehingga tidak lagi mempunyai waktu untuk mengasah kehidupan.

"Di masa sekarang ini, banyak orang lebih sibuk dari sebelumnya, tetapi mereka lebih tidak berbahagia dari sebelumnya. Mengapa? Mungkinkah kita telah lupa bagaimana caranya untuk tetap tajam?”

Tidaklah salah dengan aktivitas dan kerja keras, tetapi tidak seharusnya kita begitu sibuk sehingga mengabaikan hal-hal yang sebenarnya sangat penting dalam hidup.

Untuk kehidupan pribadi, sediakan waktu untuk membaca, nonton, rekreasi, silaturahmi. Untuk kehidupan akademik, sediakan waktu untuk relaksasi, olah raga, menyanyi, menari dsb.

Bila kita tidak punya waktu untuk mengasah kehidupan, kita akan tumpul dan kehilangan efektifitas. Jadi mulai sekarang, pikirkan cara bekerja yang lebih efektif dan tambahkan banyak nilai ke dalamnya. Kita semua perlu waktu untuk tenang, berpikir dan merenung, untuk belajar dan tumbuh berkembang.

Selasa, 15 September 2015

Ibu yang bangga

Alkisah, seorang pemuda sedang berpergian naik pesawat dari kota Bandar Lampung menuju Jakarta. Disampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.

”Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta ?” tanya si pemuda.

“Oh… saya mau ke Jakarta terus “connecting flight” ke Singapore nengokin anak saya yang ke dua”, jawab ibu itu.

” Wouw… hebat sekali putra ibu” pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.

Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahu pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.

”Kalau saya tidak salah ,anak yang di Singapore tadi , putra yang kedua ya bu?? Bagaimana dengan kakak adik-adik nya?” 

"Oh ya tentu ” si Ibu bercerita, ”Anak saya yang ketiga seorang dokter di Malang, yang keempat kerja di perkebunan di Bandung, yang kelima menjadi arsitek di Jakarta, yang keenam menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, yang ke tujuh menjadi Dosen di Semarang.””

Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak kedua sampai ke tujuh. 

”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu ?”

Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja nak”. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.”

Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya, Bu. Mungkin ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedang dia menjadi petani ?“

Dengan tersenyum ibu itu menjawab,
”Ooo …tidak tidak begitu nak….Justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani”

Semua orang di dunia ini penting. Buka matamu, pikiranmu, hatimu. Intinya adalah kita tidak bisa membuat ringkasan sebelum kita membaca buku itu sampai selesai. Hal yang paling penting adalah bukanlah "Siapakah kamu?" tetapi "Apa yang sudah kamu lakukan?"

Kamis, 10 September 2015

Toko Suami

Sebuah toko yang menjual suami baru saja dibuka di kota New York dimana wanita dapat memilih suami. Diantara instruksi2 yang ada di pintu masuk terdapat instruksi yang menunjukkan bagaimana aturan main untuk masuk toko tersebut.

"Kamu hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI"

Toko tersebut terdiri dari 6 lantai dimana setiap lantai akan menunjukkan semakin tinggi lantainya, semakin tinggi pula nilai lelaki tersebut. Bagaimanapun, ini adalah semacam jebakan. Kamu dapat memilih lelaki di lantai tertentu atau lebih memilih ke lantai berikutnya tetapi dengan syarat tidak bisa turun ke lantai sebelumnya kecuali keluar dari toko..Lalu, seorang wanita pun pergi ke toko "suami" tersebut untuk mencari suami..

Di lantai 1 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 1 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat pada Tuhan

Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 2 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, dan senang anak kecil

Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 3 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil dan cakep

'' Wow'', pikirnya tapi dia masih penasaran untuk terus naik. 

Lalu sampailah wanita itu di lantai 4 dan terdapat tulisan. :
Lantai 4 : Lelaki di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil ternyata cakep banget dan suka membantu pekerjaan rumah.

''Ya ampun!'' Dia berseru, ''Aku hampir tak percaya''

Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 5 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil, cakep banget, suka membantu pekerjaan rumah, dan memiliki rasa romantis.

Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia melangkah kembali ke lantai 6 dan terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 6 : Anda adalah pengunjung yang ke 4.363.012. Tidak ada lelaki Di lantai ini. Lantai ini hanya semata-mata bukti untuk wanita yang tidak pernah puas.

Terima kasih telah berbelanja di toko "Suami". Hati-hati ketika keluar toko dan semoga hari yang indah buat anda.

Rabu, 09 September 2015

Tindakan kecil

Bagian hidup yang terbaik dari kehidupan seseorang yang baik adalah tindak-tindakannya yang kecil, tak bernama dan tidak pernah diingat mengenai kebaikan dan cinta.(William Wordsworth)

Pada suatu saat ketika saya masih berumur belasan tahun, ayah dan saya berdiri di antrian untuk membeli tiket pertunjukan sirkus. Akhirnya, hanya tinggal sebuah keluarga di antara kami dan counter tiket. Keluarga tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam dalam diri saya. Keluarga itu mempunyai delapan anak, boleh jadi semuanya masih berumur di bawah 15 tahun. Anda bisa mengatakan kalau mereka tidak mempunyai banyak uang. Pakaian mereka tidak mahal, tetapi bersih. Anaka-anaknya mepunyai sikap yang sangat baik, semuanya berdiri antri dengan tertib, dua-dua di belakang orang tua mereka, sambil bergandengan tangan. Mereka semua sangat antusias berbicara tentang badut-badut sirkus, gajah, dan hal-hal lain yang akan mereka lihat malam itu. Orang pasti merasa kalau mereka semua belum pernah melihat sirkus sebelumnya. Nampaknya malam itu akan menjadi momen yang sangat penting dalam kehidupan masa remaja mereka.

Sang ayah dan ibu berada di depan, berdiri dengan bangga. Sang ibu memegang tangan suaminya, menatapnya seolah mengatakan, "Kau adalah ksatriaku dalam pakaian baja yang bersinar."Sang suami tersenyum dan penuh kebanggaan, menatap seolah-olah menjawab, "Memang benar."

Penjual tiket menanyakan kepada sang ayah berapa tiket yang dia inginkan. Dengan bangga dia menjawab, "Saya membeli delapan tiket anak-anak dan dua tiket dewasa agar bisa membawa seluruh keluarga saya untuk menonton sirkus."

Penjual tiket itu lalu mengatakan harga tiket yang harus dibayar. Istri lelaki tersebut melepaskan tangan suaminya, kepalanya terkulai, bibir lelaki itu nampak mulai gemetar. Sang ayah lalu mendekat sambil memiringkan tubuhnya dan berkata, "Berapa?" Kembali penjual tiket mengatakan harganya.

Uang lelaki itu tidak cukup untuk membayarnya. Apa yang akan terjadi seandainya dia berbalik dan mengatakan kepada kedelapan anaknya bahwa dia tidak mempunyai cukup uang untuk membawa mereka melihat sirkus?

Mengetahui apa yang terjadi, ayah saya memasukkan tangan ke saku celananya, mengambil uang 20 dollar dan menjatuhkannya ke lantai. (Kami sama sekali tidak kaya!).

Ayah saya membungkuk, mengambil uang tersebut,dan menepuk bahu lelaki itu dan mengatakan, "Maaf, Pak, uang ini jatuh dari saku Anda."

Lelaki itu mengetahui maksud ayah saya, Jelas dia tidak ingin minta bantuan tetapi yang pasti dia sangat menghargai bantuan tersebut, dalam situasi yang putus asa, menyedihkan, dan juga memalukan. Dia menatap mata ayah saya secara langsung, menyambut tangan ayah ke dalam kedua tangannya, menggenggam erat uang 20 dollar tersebut, dan dengan bibir gemetar dan air mata membasahi pipinya, dia menjawab, "Terimakasih, terimakasih....Pak. Uang ini sangat berarti bagi saya dan keluarga saya."

Akhirnya kami kembali masuk ke dalam mobil dan langsung pulang. Kami tidak jadi nonton sirkus malam itu, tetapi kami merasa senang.

Kamis, 27 Agustus 2015

Cinta Laki-laki biasa

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.


Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh seleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Nania terkesima.
"Kenapa?"

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

"Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. "Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"

Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. "Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"
"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!"
"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma. "Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. "

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak. Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. "Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik. "Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. "Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan! "

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

"Baru pembukaan satu."
"Belum ada perubahan, Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

"Masih pembukaan dua, Pak!"
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

"Dokter?"
"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
"Pendarahan hebat."
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
"Nania, bangun, Cinta?"
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
"Nania, bangun, Cinta?"

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore
setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan
tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.
Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi
pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

  
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.


Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.


(Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa)